Jadi aku nonton film adaptasi dari novel mega best-seller yang ditulis Veronica Roth, Divergent, dan film itu sangat membosankan sekali. Filmnya sendiri diadaptasi oleh Neil Burger yang sebelumnya pernah menggarap Limitless dan aku suka!
Tapi, kenapa adaptasi Divergent jadi membosankan?
Aku belum pernah membaca bukunya. Ketika mulai nonton aku berharap menemukan sesuatu yang seru dan berbeda dari Hunger Games. Ya, ya, sama-sama produksi Lionsgate dan punya jagoan seorang gadis, tentunya susah kalau nggak disandingkan.
Ketika opening… voice over dari Shailene Woodley yang memerankan Beatrice, menceritakan tentang sistem sosial di Chicago versi distopia yang kondisi masyarakat dan kotanya masih kelihatan jauh lebih baik daripada uhuk Chicagotham Nolanesque di The Dark Knight Rises. Kita dilihatin montase dari faksi-faksi. Yang tiap adegannya cuma beberapa detik dan voice overnya cepet banget. Rasanya pengin bilang… ha? ha? apa? petani oranye? orang yang jujur? faksi yang berandalan? Akhirnya yang kesangkut sampai akhir cuma nama “Dauntless” aja.
Kemudian, si Shailene nerusin voice over dengan cerita dirinya sendiri, Beatrice, anak faksi yang pakai baju abu-abu membosankan. TAPI SUNGGUH DALAM KONDISI DISTOPIA GITU SHAILENE TETEP CANTIK BANGET! Pipinya merona merah, bibirnya pink lembut, alisnya sungguh rapi, pastilah Chicago versi dystopia itu banyak salon kecantikan! Ternyata hari itu adalah hari seleksi untuk anak-anak remaja masuk ke faksi apa.
Shailene bareng kakaknya, Ansel Elgort yang juga GANTENG DAN BERSIH abis. Kemudian, mereka berkumpul dengan anak-anak lain yang aku sadari juga bersih-bersih banget dan kelihatan bahagia. Kayak perang nggak ngefek sama sekali sama mereka. Sekali lagi, cerita tentang faksi diulang ketika Shailene ngantre masuk ruangan seleksi dan aku masih nggak ngerti juga. Nah pada waktu itu, muncul faksi yang leloncatan dari kereta, perhatian semua orang terbagi dong, lihat faksi yang pamer aksi banget tersebut.
Nah, tesnya nih, si Shailene diminumin obat. Kayaknya obatnya ngasih halusinasi gitu. Dia diadepin dengan anjing, satu anjing galak yang mau gigit orang, satunya anjing manis. Anjing manis ini bikin inget Bear di Person of Interest, bukan Bear, kan? Nah, si Shailene ini coba nyelamatin. Ketika bangun si yang jagain tes bilang kalau Shailene ini berbedaaaaaa… dia adalah seorang jreng jreng DIVERGENT!
Jadi, divergent itu ditakuti karena punya pemikiran berbeda dan nggak bisa diperintah oleh pemerintah gitu. Oleh karena itu, mereka kemudian diburu-buru dan dikejer-kejer kalau ketahuan. Tapi, aku sama sekali nggak nangkep kenapa Shailene ini berbahaya? Karena dia nggak kelihatan berbahaya sama sekali, cantiknya mungkin yang berbahaya. Bersinar banget.
Akhirnya, si Shailene ini milih Dauntless, faksi yang loncat loncat dari kereta tadi. Mereka suka manjat-manjat. Ngejar-ngejar kereta ya… kok gerbongnya kosong gitu sih? Nggak ada kursinya? Apa itu memang kereta punya Dauntless? Entahlah. Tapi, di mataku faksi Dauntless ini malah kelihatan nyebelin alih-alin bikin simpati. Nggak jelas gunanya apa, meski diterangin kalau mereka semacam penjaga faksi lain dan yang nggak punya faksi biar nggak berkelahi. Padahal rasanya ada tentara deh. Tentaranya magabut dong ya.
Si Shailene pun latihan berkelahi. Banyak adegan perkelahian yang awkward banget. Mereka dinilai, kalau yang nggak lulus bakal dikeluarin dari Dauntless. Shailene yang dapet nilai rendah pun belajar lebih keras dan itu menarik perhatian si salah satu dedengkot Dauntless, namanya Four yang ganteng, bertato indah dan tersedia untuk diraba-raba, juga mulus abis.
Iya, Dauntless yang suka loncat dari kereta ini pun mulus-mulus abis. Mungkin jaman itu mereka punya kemampuan regenerasi. Sehingga Shailene yang jatuh dari kereta dan lengannya sempat terluka pun pas latihan sudah mulus lagi. Aku mau deh tinggal di universe itu kalau meskipun lari-larian dan loncat-loncatan tetap cantik, mulus, dan indah! Hidup Dauntless!
Enaknya nih, kalau nonton bareng temen, kamu main drinking game deh, minum apa aja setiap kali ada karakter yang ngomong ‘Dauntless’. Kembung deh sampai belakang. Haha. Soalnya memang diulang-ulang terus, kayak kita yang nonton nggak ngerti aja mereka Dauntless itu gimana. Kamu dauntless! Kamu bukan dauntless! Kamu harus buktikan kalau kamu adalah dauntless! Dauntless anu! Dauntless harus nganu!
Akhirnya ketahuan deh kalau si Beatrice aka Tris ini Divergent. Jadi, pas tes terakhir, semua anak baru dikasih serum yang ternyata berupa tracking device. Nah, kalau kamu divergent, ini nggak akan ngefeklah. Itu nggak berefek buat si Tris dan Four. Akhirnya mereka dikejer-kejer. Sampai faksi orang tua mereka diancam mau dibunuh sama teman-teman mereka yang dikenai mind control. Ibunya si Tris muncul dan menyelamatkan Tris juga memberitahu kalau ibunya si Tris ini aslinya dauntless. Ya akhirnya, si Four ketangkep dan dikasih mind control yang lebih kuat gitu efeknya. Berantem deh si Tris sama Four, ya akhirnya karenaaaaa cintaaaaaaaaaaaaa Four pun sadar lagi. Mereka sama-sama mengagalkan pembantaian ke faksi abu-abu tadi.
Gitu ceritanya. Udah aku ceritain lengkap tuh. Haha.
Nonton ini kayak nonton adegan di buku dipotong-potong, terus dijadiin film. Nggak ramah untuk non pembaca. Tone ceritanya flat banget. Meski banyak adegan aksi non berantem, masih aja tetep membosankan dan nggak bikin terkejut. Aku bukan penentang adaptasi yang plek sama dengan bukunya karena aku memang suka nonton film adaptasi. Yang baru-baru ini aku tonton adalah Never Let Me Go, baca buku duluan dan baru nonton. Hasilnya: aku nggak kecewa, meski nggak wah banget juga. Apa yang dibayangin nggak melenceng, ceritanya nggak melenceng dari buku. Tapi yang ngadaptasi TAHU gimana cerita yang diangkat dari novel itu bisa pas untuk medium film.
Buatku sih yang paling ngganjel ya itu semua karakternya TERLALU cantik dan ganteng. Nggak masuk akal banget. Juga bajunya yang kelihatan baru-baru banget. Nggak masuk akal lagi. Bukan berarti cerita distopia nggak boleh menampilkan karakter yang cantik, ganteng, bersih. Akan tetapi, menurutku penampilan karakter-karakter dalam Divergent ini nggak pas banget sama latar tempatnya. Kecuali, kamu bikin kayak Capitol yang megah, aku ngeliat si Tris dan Four di sana, aku nggak akan heran atau protes.
Padahal, kalau sistem sosial tadi bener-bener dieksplorasi dan karakternya jadi bagian dari itu, bakal bagus deh. Cuma sayangnya, di film ini ceritanya lebih fokus sama kegalauan Tris sebagai dauntless beneran dan bukan. Malah jadi cuma sedikit cerita tentang kondisi saat itu dan sebagainya. Itu yang bedain sama Hunger Games. Di Hunger Games kerasa banget kalau Katniss adalah bagian dari society. Pihak yang ditindas Panem. Dia punya tujuan jelas: ingin selamat dari Hunger Games. Dan kenapa dia ada di Hunger Games: nyelamatin adiknya. Itulah yang bikin Hunger Games jauh-jauh lebih baik daripada ini.
Sementara di sini, nggak jelas Tris ini mau ngapain dan nyelamatin apa. Bahkan selama 40 menit pertama, masih nggak tahu tujuan Tris ini apa. Ya, iya, dia udah masuk Dauntless, terus apa? Dia nggak kelihatan mikirin keluarganya. Pokoknya fokus sama dirinya sendiri gitu.
Mungkin yang bikin nggak kerasa real, di dunia yang distopia itu, semua kerasa aman dan nyaman. Meskipun mereka diatur oleh sistem tertentu, nggak ada yang ngerasa keberatan. Semua kayaknya fineeeeeeeee. Bahkan setelah Tris masuk ke dalam Dauntless, tetep aja nggak kerasa diarahkan mau ada perubahan tertentu. Film ini kurang motivasi dan tujuan karakternya nggak dijabarkan dengan jelas. Kayaknya yang paling penting adalah menjaga agar penampilan Shailene dan Theo nggak ternoda sedikit pun sepanjang film.
Bisa jadi karena ini cerita YA, ketika penontonnya jelas lebih pengin ngelihat jagoan-jagoannya, ketimbang disuguhi cerita yang solid dan teknik yang bagus. Padahal bujetnya juga nggak sedikit buat film ini. Tetapi setnya kerasa membosankan sekali. Nggak ada inovasi yang memperlihatan bedanya distopia yang ini. CGI-nya juga rada hmm… muram kubilang sih. Huehehe.
Aku nggak benci film ini karena aku juga penikmat cerita YA. Hanya saja, aku berharap kalau cerita YA pun bisa digarap dengan baik. Kalau nggak bisa bikin adaptasi yang plek ya, bikin loose adaptation aja, kayak The Prestige atau Blade Runner. Nggak maksa sama dengan buku, penulis nggak dilibatkan dilibatkan pas bikin cerita, ngasih perspektif yang berbeda dari novelnya, dan bener-bener interpretasi baru. Tentunya, keduanya judul itu punya cerita yang pas dengan medium masing-masing. Tapi, untuk buku best seller jaman sekarang kayak Divergent ini, penggemarnya mungkin bakal ngamuk ya.
Karena tadi, di Divergent ini sistem sosialnya tadi lebih menarik diceritakan daripada kegalauan si Tris. Kita nggak tahu kenapa muncul sistem kayak gitu. Kita nggak tahu seberapa menderitanya orang-orang di dalam pagar itu. Apa yang mereka perjuangkan. Gimana buruk dan baiknya hidup mereka. Intinya, kita nggak tahu. Aku pribadi nggak ngerti kenapa Tris harus diselamatkan kalau ternyata masyarakat pada saat itu ngerasa baik-baik aja.
Tentang distopia dan pembagian kelas itu jauh jauh lebih bagus dituturkan dalam Snowpiercer. Kita tahu kenapa orang-orang itu ada di sana. Kenapa mereka ada di kereta paling belakang. Betapa buruk hidup mereka dan bahkan makanan yang dikasih ke merekat. Juga, di gerbong yang lebih depan, gimana kita tahu anak-anak kecil sejak dini sudah ditanamkan kalau si kereta adalah penyelamat mereka! Itu… distopia! Itu yang bikin penonton kerasa simpati kepada Curtis dan berharap mereka dapat perubahan!
Meskipun film ini dapat review yang nggak terlalu bagus dari mana-mana. Tetapi, pemasukannya yang hampir tiga kali biaya pembuatannya, bikin film ini bakal dibikin sekuelnya. Memang ending Divergent ini ngegantung gitu sih. Ya, semoga ada peningkatan kualitas di film selanjutnya! Viva dauntless!
Cantik, ganteng, dan bajunya baru semua? Sinetron! #nyengir
haha ya gitu sih, kelihatan indah pokoknya hidupnya. mungkin itu universe yang bikin semua selalu cantik, ganteng, dan baru!
Menarik bgt nih artikelnya, perbandingannya ok :)) buat aku sih scara film, lebih milih Divergent, ini sih cm personal preference aja, aku ngga baca buku2nya, jd cm bandingin apa yg aku dapat dr filmnya aja…Kalo Katniss berjuang mewakili kaumnya, kalo Beatrice berjuang menemukan jati diri-nya, her own life choice and future, cocok buat remaja. Jd segala tes yg dia alami itu lebih ke Yg buat aku msh belom bs nerima Hunger Games tuh pertarungan hidup-mati-nya ditonton banyak orang di TV, kalo pnonton simpati krn pesertanya udah kelaparan, tau2 ada rantang/ransum melayang dr atas pohon LOL. Romance-nya jg pake “bumbu sinetron” sperti yg diinginkan penonton dunia Hunger Games. Pdhl pertarungan hidup-mati harusnya sadis en keras tp di Hunger Games kurang greget (mungkin krn cm buat remaja). Divergent lebih byk dinamika-nya, dengan karakter Beatrice yg awalnya tergolong lemah, akhirnya bs sukses jd yg terbaik, ya tentu ga smua aspek bukunya bs dijelaskan, yg penting pesannya jelas. Buat aku, Hunger Games tanpa kekuatan akting Jennifer Lawrence jatohnya so-so bgt. Paling ngga itu gambaran dr filmnya.