Aku senang ketika Gramedia mengumumkan merilis terjemahan novel karya debut Helene Wecker ini, karena memang sudah lama jadi salah satu incaranku. Memang tahun 2013, ketika novel ini dirilis buzz-nya ramai banget dan pas kucari tahu lagi, ternyata novel ini jadi Best Novel di Nebula Awards 2014.
Apa yang jadi inti cerita novel ini, sudah tersurat jelas dari judulnya. Si Golem dan Si Jin. Mereka bertemu di New York akhir 1800-an. Sama-sama digelayuti nasib yang kurang beruntung. Akan tetapi mereka berbeda, yang satu golem, yang satu lagi jin? Bisakah… mereka bersatu?
Ternyata perbedaan jenis (iya, golem dan jin), justru bukan jadi penghalang utama dan konflik yang ada di dalam hubungan Ahmad, si jin, dan Chava, si golem. Hubungan mereka yang diceritakan dengan perlahan dan mendetail, termasuk bagaimana sudut pandang mereka yang selalu berbeda benar-benar menghidupkan cerita ini. Chava yang baru berumur beberapa bulan dan ditinggal mati oleh masternya, dan Ahmad yang berusia ribuan tahun, namun seribu tahun sebelumnya terkurung dalam vas bunga.
Chava dengan kemampuannya membaca pikiran makhluk lain, harus berhati-hati dan berdamai dengan kelebihannya. Itu membuatnya terlalu sensitif, berkat bantuan Ahmad dan seorang Rabi yang menyelamatkannya, Chava pelan-pelan belajar untuk mengabaikan suara-suara yang tidak perlu. Belajar bersikap seperti manusia pada umumnya.
Ahmad terkurung dalam tubuh manusia, kehilangan sebagian besar kekuatannya, setelah ditangkap, diborgol dengan besi, dan disimpan dalam vas. Arbeely, seorang tukang logam-lah yang mengeluarkan Ahmad. Dengan kemampuan Ahmad mengolah logam, mereka berdua pun berpartner dan menjadi teman.
Akan tetapi, banyak sekali hal yang terjadi dalam novel ini. Semua dikaitkan dengan rapi dan logis. Dan kalau aku harus tulis dalam review ini, bisa panjang!
Selain hubungan Chava dan Ahmad yang bikin simpati, hal paling menarik dalam novel ini adalah tentang latar budaya dan diskusi mengenai agama, ras, tradisi. Memang bukan pembicaraan yang berat-berat, tetapi apa yang diobrolkan Ahmad dengan Arbeely tentang agama, malaikat, tuhan, sangat mengena. Ada orang yang percaya. Ada yang tidak. Ahmad yang hidup lama dan tahu banyak hal… ya, menyangkal apa yang dipercaya Arbeely.
Karakter-karakter dalam buku ini pun bermacam-macam, meski kebanyakan keturunan Timur Tengah dan sekitarnya, tapi itu pun ditunjukkan dengan keberagaman ras dan agama. Meski bukan hal yang essensial, hal itu memperkaya cerita ini. Tidak sedikit tradisi ini dan itu yang dijelaskan di dalam cerita ini. Tradisi yang di tanah sana masih dipegang erat, sementara di New York mulai ditinggalkan. Begitu juga ajaran agama yang dipegang orang-orang tua dan menurut yang lebih muda terasa tidak masuk akal sehingga mereka murtad.
Aku pernah membaca kalau salah satu hal yang membuat sebuah cerita fantasi itu disenangi adalah bagaimana karakter-karakter di dalam situ dengan ‘keganjilannya’ bisa tetap melakukan hal-hal yang manusiawi. Di sini, meski sihir dan hal-hal lainnya masih kuat, itu lebur banget dengan kegiatan keseharian. Chava yang harus tetap kerja di toko roti dan pura-pura jadi manusia. Ahmad pun harus bersikap seperti manusia, mengikuti tradisi, datang ke pesta pernikahan.
Cerita sebesar ini memang kurang sedap tanpa ada antagonisnya. Antagonis yang utama memang kondisi mereka, tetapi juga ada musuh bebuyutan Ahmad si Jin, yang justru di akhir apa yang terjadi sama dia pun bikin mikir kalau… mestinya dia nggak menanggung beban seperti itu. Akan tetapi ya, kadang suatu masalah nggak cukup diselesaikan dengan bicara… apalagi kalau itu sudah jadi dendam ribuan tahun.
The Golem and The Jinni memperlihatkan keberagaman dan cinta yang bisa tumbuh di sana. Seperti si golem dan si jin, yang jelas berbeda, tetapi mereka bisa mengerti dan mengisi satu sama lain. Tentang saja, kisah cintanya sama sekali nggak kacangan! Bukan cuma tampang Ahmad yang tampan yang bikin bersimpati…. Proses kedekatan mereka yang pelan-pelan rasanya ikut bikin jatuh cinta juga dan pengin tahu apa yang terjadi sampai akhir!