Aku tidak ingat kapan ketertarikanku kepada Mars muncul. Mungkin sejak aku kenal dengan tata surya dan membayangkan kehidupan di planet lain. Mars yang terdekat, yang merah di langit gelap. Dekat dan kering, dan mungkin suatu hari nanti bisa ditinggali.
Mimpi untuk menjadikan Mars rumah kedua tumbuh sejak lama. Bahkan itu juga yang menjadi inti dari kisah Red Mars. Novel yang dirilis tahun 1992 ini menceritakan dengan detail bagaimana Mars yang kosong perlahan-lahan dipenuhi manusia dengan berbagai tujuan, berbagai keinginan.
Perjalanan di Mars yang diceritakan terperinci, ditunjukkan lewat karakter-karakter yang merupakan bagian dari First Hundred. Frank Chalmers, John Boone, Maya Toitnova, Ann Clayborne, Arkady Bogdanov, Michel Duval, Hiroko Ai, dan Nadia adalah bagian dari seratus orang pertama yang dikirim Bumi untuk memulai kolonisasi Mars. Seratus orang terbaik dengan kemampuan berbeda-beda.
Bukan hanya spesialisasi bidang yang berbeda-beda, tapi pandangan mereka tentang Mars pun beragam. Mereka yang awalnya disatukan oleh alasan ‘atas nama ilmu pengetahuan’, seiring dengan berkembangnya koloni di Mars akhirnya mulainya terungkap tujuan masing-masing. Yep, di Red Mars ini memang diperlihatkan dari gimana mereka membangun Mars sedikit demi sedikit, bertahun-tahun sampai Mars jadi lokasi penambangan dan tujuan wisata.
Cerita ini memang membahas terraform dari sisi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan personal. Karakter-karakternya, terutama nama-nama di atas dijelaskan dengan gamblang sekali. Ada yang optimis, ada yang pesimis, sinis, yang jatuh cinta ke Mars. Semua punya alasan sendiri-sendiri, memberi argumen yang tepat untuk pandangan masing-masing.
Ini adalah cerita yang besar. Kita diajak melihat Mars dari sudut pandang pribadi, dari menjelajah lembah, bukit pasir, es di kutub, sampai melihat dari sisi besarnya, kalau Mars adalah milik semua. Politiknya kental banget di tengah-tengah. Mereka, First Hundred, pun saling berbeda-beda pendapat, pecah jadi berbagai faksi. Sementara itu, bumi pun terus-terusan mengirim orang-orang. Dari yang dulu merasa berinvenstasi ke Mars mulai meminta ‘jatah’ mereka. Keadaan itu juga dikusutkan dengan anak-anak kelahiran Mars yang meminta agar Mars nggak dikoloni terlalu penuh dan lepas kontrol dari Bumi.
Rumit. Mendetail. Indah. Campur aduk rasanya ketika membaca buku ini. Kadang bangga menjadi manusia yang bisa bertahan di tempat paling mustahil. Kadang jijik melihat gimana serakahnya manusia karena potensi di Mars yang melimpah. Banyak hal menarik dalam buku ini, obrolan-obrolan yang mengena, yang bikin aku sendiri bingung harus berdiri di pihak siapa.
Satu pembicaraan yang paling aku kenang dari buku ini adalah perdebatan Sax dan Ann mengenai terraforming. Sax mendukung terraform, pengin mengubah Mars menjadi tempat yang dapat ditinggali manusia. Dengan memberi argumen kalau manusia itu berakal dan segala yang ada di semesta karena manusia yang ‘mengada’kan. Sementara Ann, merasa usaha itu merusak Mars. Dia berargumen kalau manusia bukan pusat alam semesta, dan nggak semestinya merasa meninggikan dirinya. Gosh, itu hanya secuplik dari perdebatan mereka, karena panjang dan bagus banget.
Meski banyak adegannya berupa orang-orang ngobrol, berdiskusi, berdiplomasi. Klimaks dari buku ini bikin tegang banget. Rasanya mau bilang ‘fuck, fuck, fuck‘ tiap adegan. Hahaha. Mungkin kamu yang terbiasa dengan cerita besar bisa melihat pola yang terjadi bakal seperti apa: order dan chaos, utopia-dystopia-post apocalypse. Itu juga yang terjadi pada koloni di Mars. Tapi, apa yang terjadi di Mars pun nggak terpisah dengan kejadian-kejadian di Bumi.
Kim Stanley Robinson menulis Red Mars kurang lebih sepuluh tahun. Itulah mengapa setiap detailnya kerasa terperinci banget. Selama baca buku, aku merasa setengah aku ada di Mars. Sampai bolak-balik memeriksa peta Mars.
Sampai di halaman terakhir buku ini, aku tahu kenapa buku ini jadi semacam kitab suci atau pegangan bagi mereka yang mencintai Mars, yang mendukung terraform dan perjalanan ke Mars, yang menyukai ide petualangan di planet lain. Semua itu mungkin akan terwujud suatu hari nanti. Tidak akan mudah, tapi bisa. Buku ini sangat menarik dan aku rekomendasikan, tapi memang bukan tipe bacaan semua orang. Tapi, kalau kamu menceburkan diri ke dunia sci-fi dan nggak ada yang menyebutkan buku ini padamu: mungkin kamu salah belok! Red Mars adalah salah satu masterpiece dan karya klasik sci-fi yang harus kamu baca.
Red Mars. Kim Stanley Robinson. Bantam. Mass Market Paperback. Aku beli di Periplus.com seharga Rp. 116.000,- (kalau nggak salah).